Halaman

Pengalaman Mengarungi "Lautan Air Tawar", Danau Semayang dan Danau Melintang

Lautan Air Tawar di Danau Semayang
Di hari yang sama dengan perjalanan FAMTrip Kutai Kartanegara untuk menemukan Pesut Mahakam di habitat aslinya, saya dan rekan blogger yang lain merasakan pengalaman mengarungi danau Semayang dan Melintang di Kalimantan Timur. Danau ini merupakan 2 danau terbesar di Kalimantan Timur, dan masih ada 1 danau lagi yaitu Danau Jempang yang juga merupakan danau besar di Kalimantan Timur namun berada di wilayah Kabupaten Kutai Barat.

Perjalanan kami menemukan Pesut Mahakam kala itu merujuk kami untuk melalui dua danau yang masing-masing luasnya lebih dari 10.000 Ha, tepatnya Danau Semayang dengan luas 13.000 Ha dan Danau Melintang 11.000 Ha. Danau ini memeiliki kedalaman 50 cm hingga 2 meter karena mengalami pendangkalan. Bukaan hutan dan adanya pembangunan menyebabkan lumpur turun menuju danau ini dan membuat pendangkalan setinggi 5 meter.

Dari atas perahu, saya melihat hamparan luas air tawar dengan warna kecokelatan ini seperti laut. Di ujung-ujung pandangan mata saya melihat garis horizon membentang. Berarti daratannya masih sangat jauh sekali. Lucunya ketika dilalui danau ini sedikit beriak, seperti ada gelombang-gelombang kecil dilautan. Benar-benar tepat jika saya menyebutnya lautan air tawar.

Kalang Kerbau di Danau Melintang
Di pertengahan perbatasan antara danau Semayang dan danau Melintang kami menemukan satu Kandang Kerbau besar yang didirikan dengan pancang-pancang agar tetap berada di atas air. Kerbau Rawa ini sepertinya harus puas untuk tetap berada dikandang selama musim hujan, karena debit air Danau Semayang dan Melintang terlalu tinggi untuk direnangi dan tidak ada rumput yang bisa di dapat.


Setelah melihat Kandang Kerbau Rawa, kami menuju sebuah desa yang sangat unik berada di dataran tertinggi Danau Melintang. Desa ini bernama Desa Melintang, dan semua bangunannya berdiri di atas air. Sarana transportasi yang digunakan disini adalah perahu, dan beberapa juga saya sempat melihat sepeda motor. Jujur saja, ini merupakan pemandangan baru untuk saya. Melihat anak-anak usia 8-10 tahun dengan tenangnya mengendarai sebuah perahu motor itu cukup membuat saya takjub. Bahkan ibu-ibu pun begitu. Semuanya tampak begitu tenang dan nyaman berada dilingkungan penuh air ini.

Kemudian kami menyinggahi sebuah tempat yang sedang memproduksi ikan asin. Ikan Toman dan Gabus yang didapatkan oleh nelayan desa Melintang diolah menjadi ikan asin untuk kemudian dikirimkan ke Jawa dan Bali. Rata-rata konsumen mereka adalah orang China. Harga ikan asin itu pun bervariasi. Yang besar tanpa kepala dijual Rp 100.000 perkilo. Dan kepalanya dihargai Rp 15.000 perkilo. Asa lagi ikan-ikan sepat dan ikan kecil lainnya dihargai lebih murah, sekitar Rp 50.000 hingga Rp 75.000 perkilonya. Beberapa rekan blogger penggila ikan asin seperti menemukan harta karun dan langsung memborong hingga 4 kg ikan asin. Hati-hati hipertensi ya. :D

Sesi foto di tengah ikan asin.
Ikan Asin Sepat
Diperjalanan pulang dari Desa Melintang menuju Muara Muntai, saya cukup bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mungkin hidup dengan lingkungan seperti ini, salah sedikit bayi-bayi yang baru belajar jalan bisa jatuh ke danau dan tenggelam, bukan? Namun sepertinya pertanyaan saya harus saya kembalikan ke diri saya sendiri, kenapa saya mau tinggal di lingkungan hidup saya? Hal seperti ini tentu jawabannya adalah "Lain ladang, lain belalang", berbeda tempat tinggal, tentunyaberbeda pula pemikirannya. Semua sudah ada yang atur, dan lingkunganlah yang membentuk pemikiran kita. Biasanya sih begitu. 

Desa Melintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar