Pesut Mahakam. |
Masih dalam rangka FAMTrip Kutai Kartanegara bersama para Blogger nasional dan Kementrian Pariwisata, hari ini kami akan mencoba mengadu keberuntungan dalam menelusuri jejak hewan endemik Kalimantan Timur yang terancam punah, Pesut Mahakam. Pesut Mahakam sendiri atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Irrawaddy Dolphin ini merupakan salah satu jenis lumba-lumba air tawar dan merupakan satu-satunya jenis lumba-lumba air tawar yang hidup di Indonesia.
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Pesut Mahakam ini hanya tersisa 75 ekor. Dan keseluruhannya menghuni sungai Mahakam yang memiliki panjang hamparan 920 Km. Sehingga, status hewan ini benar-benar diambang kepunahan. Untuk bisa melihatnya di habitat aslinya butuh keberuntungan luar biasa pula.
Untuk itulah, kami mencoba peruntungan kami. Sekiranya jika berhasil maka kami termasuk sedikit dari populasi masyarakat di Indonesia yang menjadi saksi hidup dari hewan yang punya julukan "The Smiling Dolphin" ini. Bersama dengan Bang Innal Rahman, dari Komunitas Save Pesut Mahakam, pagi itu kami menuju ke Kota Bangun yang berjarak sekitar 2 jam dari kota Tenggarong.
Dari Kota Bangun ini kami rencananya akan berputar mencari petunjuk keberadaan Pesut itu sendiri. Kami juga akan melewati Danau Semayang dan Melintang, kemudian kembali menuju Sungai Mahakam untuk mampir ke Desa Muara Muntai. Dan dari desa Muara Muntai kami akan menyusuri sungai Mahakam kembali ke Kota Bangun.
Perahu yang digunakan untuk menyusuri sungai. |
Hari itu Bang Innal menyiapkan 2 perahu motor untuk kami. Satu perahu bisa diisi hingga 8 orang berukuran standar. Sehingga rombongan kami yang 12 orang plus Bang Innal sendiri harus menggunakan 2 perahu. Motorisnya sendiri pun tidak bisa sembarangan. Harus yang memiliki pengalaman untuk observasi pesut. Harus memiliki pandangan jarak jauh yang tajam, dan mengenali kebiasaan Pesut itu sendiri.
Sekitar pukul 09.00 kami mulai mengarungi Sungai Mahakam ke arah Hulu. Berharap di percabangan menuju ke Danau Semayang, kami bisa bertemu dengan salah satu Pesut. Dan nyatanya kali itu keberuntungan memang berada di pihak kami, sehingga tampak satu pesut yang sedang menuju hulu sungai berkeliaran. Namun, hanya sebentar, sehingga kami semua tidak bisa mendokumentasikannya.
Pemandangan yang kami hadapi |
Setelah itu kami menuju ke Danau Semayang dan Danau Melintang, yang akan saya ceritakan di postingan yang berbeda. Dan tepat sekitar jam makan siang kami sudah tiba di Desa Muara Muntai. Desa dengan Jembatan ulin terpanjang di Indonesia. Jembatan atau jalanan dengan lebar 1 hingga 6 meter ini dibangun dengan menggunakan kayu ulin dari tahun 1980. Ide pembangunan jembatan ini juga sebenarnya karena Muara Muntai sangat sering dilanda banjir. Dan jembatan yang berumur lebih dari 30 tahun ini juga untuk memudahkan warga melaluinya dengan menggunakan kendaraan roda 2.
Jembatan Ulin Terpanjang di Muara Muntai |
Suasana desa Muara Muntai |
Usai makan siang dan tour sekitaran Muara Muntai, kami kembali menyusuri sungai Mahakam, menuju Kota Bangun. Dan tidak sampai 30 menit kami berjalan, terdengar suara "ffssshhhhhhh..." dari kejauhan. Motoris yang berada di kapal Bang Innal yang pertama menemukannya. Akhirnya perahu kami pun mulai mendekatinya.
Ada tata cara sendiri untuk observasi Pesut Mahakam di habitat aslinya tersebut. Perahu motor harus mematikan mesin perahunya agar tidak mengganggu Pesut itu sendiri. Jaraknya tidak boleh terlalu dekat karena khawatir Pesutnya akan terganggu dan pergi menjauh. Pesut juga menyemburkan air melalui lubang di kepalanya seperti lumba-lumba dan paus, sehingga kita bisa menebak darimana pesut itu keluar melalui suara itu. Pesut Mahakam tidak seperti Lumba-lumba yang akan berenang senang ketika melihat perahu, Pesut adalah mamalia pemalu, sehingga hanya memunculkan diri sebentar untuk mengambil nafas, kemudian langsung berenang lagi.
Pesut yang kami temui cukup besar. Saya tidak tahu tepatnya namun berani menaksir panjangnya lebih dari 2 meter. Dan melalui mata telanjang sepertinya kami melihat 3 pesut bermunculan bergantian berenang ke Hilir Sungai Mahakam. Namun, kata Bang Innal, kita tidak bisa memastikan pesutnya hanya 3 ekor. Karena untuk mengetahui dengan pasti, kita harus membandingkan sirip belakang pesut melalui foto. Pesut memiliki sirip belakang seperti hiu dan lumba-lumba, dan sirip itu yang kemudian menjadi identitas pesut itu sendiri. Karena setiap individu pesut memiliki bentuk sirip belakang yang berbeda, seperti sidik jari manusia.
Pesut Mahakam. |
Menurut saya, mamalia ini benar-benar cantik dan saya pun mengerti kenapa dijuluki "Smiling Face" karena lekukan bibirnya selalu membentuk senyum. Meskipun bagi saya senyumnya menandakan kesedihan, karena populasinya yang semakin sedikit, dan ada kemungkinan terancam punah jika tidak segera dilakukan upaya penyelamatan dari sekarang. Pada awalnya memang sangat sulit untuk melihat hewan ini, karena air sungai yang cokelat dan kebiasaan pesut yang pemalu ini membuat kita sulit membedakannya dengan air. Namun setelah beberapa kali Pesutnya muncul, kita bisa kok memperkirakan dan membedakannya.
Kami mengikuti rombongan ini hingga setengah jam lamanya. Seperti sayang jika harus meninggalkan mereka begitu saja. Namun karena hari juga sudah mulai sore, dan perjalanan kami masih panjang karena kami akan menginap di Samboja malam itu, kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.
Pesut Mahakam yang kami ikuti. |
Pesut Mahakam terancam punah karena kalah dengan manusia ketika mereka mencari ikan di sungai. Selain itu jaring-jaring ikan yang dipasang oleh msyarakat juga menjadi sebab utama kematian mamalia ini. Pesut ini mempunyai kecenderungan untuk Monogami, satu pasangan saja dalam satu waktu. Sehingga rombongan pesut yang terlihat biasanya keluarga besar terdiri dari ayah, ibu, anak dan kerabat dekatnya saja. Pesut mengandung bayi Pesut selama 12 bulan dan butuh 2 tahun untuk bisa mulai berkembang biak.
Seharusnya, melihat Pesut di Sungai Mahakam bukan menjadi hal yang sulit jika kita bisa saling mengerti sesama makhluk Tuhan. Apalagi ketika hewan ini hanya berada di Kalimantan Timur dalam lingkup Indonesia. Namun, terkadang manusia begitu egois sehingga tidak memikirkan yang lain, dan akhirnya satu persatu ciptaan Tuhan yang indah itu akan hilang selama-lamanya. Jika sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa disalahkan karena kita semua ikut andil di dalamnya.
Rombongan blogger. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar