Selain itu, kami juga menyiapkan paket-paket berisi buku dan alat tulis untuk kami sumbangkan kepada sekolah disana. Kami menyiapkan 70 paket untuk muridnya, dan beberapa agenda maupun alat tulis tambahan untuk guru dan kepala sekolahnya. Semua ini merupakan hasil dari sumbangan temen-temen samarinda backpacker yang sudah menyisihkan sedikit rezekinya untuk ber-volunteer. Karena memang salah satu tujuan utama dari perjalanan ini adalah volunteering kepada siswa beberapa sekolah dasar disana.
Malam di tanggal 28 Desember itu pun, menjadi ribet. Wanita-wanita yang cuma tiga orang ini, yaitu Saya, Mpo Noru dan Mpo Athie memutuskan untuk menanak nasi malam itu. Karena kalau dilakukan juga di pagi harinya bersama kegiatan masak memasak kita, pasti kami harus bangun mulai jam 4 subuh. Nooo! Oleh karena itu, kami berbesar hati tidur lebih malam, padahal badan juga udah lumayan minta diistirahatin gegara petualangan sebelumnya. Namun, semua itu terbayar, karena saya akhirnya bisa memasak nasi dengan cara tradisional. Selama ini, saya adalah wanita super praktis yang melakukan pekerjaan rumah tangga dibantu oleh mesin-mesin penemuan manusia. Bisa dibilang cukup pencet-pencet tombol, selesai sudah semuanya. Haha, dengan begadangnya saya malam itu, saya berhasil menanak nasi dengan cara tradisional.. prestasi buat saya! *sungkem dulu sama ibunya mas eko*
Esok paginya, pukul 05.00 alarm saya berbunyi, saya langsung membangunkan kedua wanita lainnya. Kami menyiapkan sarapan sekaligus bekal makan siang. Untuk sarapan kami membuat nasi goreng seadanya dengan telor ceplok. Dan makan siangnya dibantu oleh Ibu, ikan, telur dadar, sayur jagung dan sayur tahu. Kami bener-bener dimanja sama Ibu, jadi nggak heran kalau pulang ngetrip nanti timbangan naik drastis. hehe. Dan, sementara kami asik ngerjain kerjaan rumah tangga di dapur, para lelaki-lelaki itu asik hunting sunrise di Teluk Sulaiman. Curang kan? Iya kan?? u.u Tapi, sudahlah, yang penting semua senang.
Oke, setelah bekal siap, packingan baju
ready, dan kami sudah kekenyangan karena sarapan, sekitar pukul 9.00 kami bergegas berangkat ke Teluk Sulaiman. Dari sana kami akan naik kapal sampai ke tujuan kami di Teluk Sumbang. Sebelumnya kami menjemput grup mas Alyas. Beliau dengan 3 orang temannya yaitu Mas Heri, Komang dan Adi menunggu di penginapan dekat dermaga. Sehingga total anggota yang akan berpetualang adalah 13 orang. Saya, Mpo Noru, Mpo Athie, Kak Firman, Kak Akbar, Kak Agus, Mas Adi, Mas Heri, Mas Alyas, Komeng dan Kakaknya, Adi. Entahlah, saya suka dengan konsep pasukan 13 ini. 13 memang angka kesukaan saya soalnya.
Setiba di teluk Sulaiman, kami masih harus menunggu sang supir kapal menyiapkan kapalnya. Rupanya, beliau masih harus mengisi bahan bakar dan lain-lain. Namun, karena saat itu air sedang surut, saya tidak bosan. Bagaimana bisa bosan? Di palang-palang penyangga dermaga, banyak sekali ikan hias yang terlihat. Mas Eko menjelaskan satu persatu ikan yang saya lihat, namun sayang yang saya ingat hanya Moorish Idol. *ah, ingatan payah ini -.-* Kemudian setelah kapal siap, kami harus menuruni tangga vertikal menuju geladak kapal. Fyuh.. bener-bener belum apa-apa udah memacu adrenalin dan keselamatan jiwa. Gimana kalau saya kepleset dan jatuh? Pasti tenggelam dengan sukses dalam lautan luka dalam.. *ah, elah*
|
Berlayar di Laut Lepas |
Sekitar satu jam kami menikmati perjalanan ke Teluk Sumbang. Perjalanannya pasti akan jauh lebih menyenangkan jika mataharinya tidak sedang semangat-semangatnya menyinari kami yang imut-imut ini. Namun, setidaknya kami cukup terhibur dengan pemandangan yang disuguhkan. Pulau-pulau di sepanjang lajur menuju Teluk Sumbang sangat indah. Dihiasi pepohonan hijau di pinggir laut dan kontrasnya dengan langit biru. Bahkan sesaat kami melintasi pantai dengan pasir putih, terlihat banyak monyet-monyet yang bermain di pantai tersebut. Hmmmm.. jadi gak cuman manusia ya yang suka berlarian di pantai, monyet pun ternyata mempunyai hasrat yang sama. Kemudian warna air laut yang ditawarkan benar-benar menyegarkan mata. Hijau lembut dibalut biru. Ya, lagi-lagi warna toska memanjakan mata kami. Sungguh sebuah kenangan yang tidak bisa dilupakan, walau hampir mati kepanasan, kami masih sanggup bertahan dengan pemandangan yang luar biasa.
|
Banyak nemu pemandangan beginian disepanjang perjalanan |
Mendekati Teluk Sumbang, kecepatan kapal menurun. Selain karena kami menolong sebuah kapal lain yang sepertinya mogok, kapal kami juga tidak dapat berlabuh di dermaga Teluk Sumbang karena saat itu air sedang surut. Sang supir kapal sepertinya takut kapalnya karam. Dia bilang bukan masalah manusianya yang basah, namun sayang akan barang-barangnya. Beberapa kali kami dibawa bolak-balik menyusuri pantai, mencari celah yang aman. Namun karena ombak yang besar kami masih terus terkatung-katung di laut. Beberapa mengusulkan untuk nyebur dan berenang ke tepi, dalam hati saya ngedumel.
Yeah Right... saya loh nda bisa berenang, kalau tenggelam dengan sukses iya, bisa !
Kami mulai gelisah. Apalagi saya bolak balik melirik jam tangan saya, sudah hampir pukul 12.00 Wita. Rencana kami untuk masuk hutan bakalan kacau ini. Belum lagi mendung yang menggantung di seberang gunung. Apa jadinya kalau
trekking ke hutan dengan hujan yang deras? Terus, bisa jadi kesorean pula, makin gak aman. Akhirnya kami mendesak pak supir untuk segera masuk ke dermaga. Beliau dengan ragu-ragu pun akhirnya pelan-pelan mengambil arah ke dermaga. Beberapa kali navigator mengarahkan kapalnya. Ternyata mengendarai kapal itu rumit kapten, mana si supir nda bisa lihat jalur kedepan, soalnya kemudi ada di belakang. Nah loh.
Kecemasan saya bertambah saat kapal mendadak membentur sesuatu.
Haha, kapal karam kapteeen..!! Sedikit cemas bercampur geli di kepala saya. Ya Tuhan, perjalanan ini sungguh sesuatu banget adaaa aja kejadian aneh-anehnya. Kemudian para ABK pun mulai turun ke laut untuk mendorong kapal. Kasian loh liatnya, anak-anak ABG itu dengan sigapnya loncat ke gusung tempat kami karam dan mulai mendorong kapal. Mereka menggunakan tenaga ombak yang lumayan gede saat itu. Jadi begini caranya, kapal dimiringkan semiring-miringnya, kemudian ombak besar datang, mereka mendorong kapalnya sekuat tenaga. Yang diatas kapal dan gak bisa berenang kaya saya lumayan pucat sih. Gimana kalau tiba-tiba mereka bilang gak sanggup lagi, dan kami harus berenang ke tepian dengan riang gembira? Bisa dipastikan saya akan terdampar di kapal sampai airnya cukup tinggi. Ah.. gak mau.. -.-
Melihat tidak ada perkembangan berarti, sang penumpang laki-laki lain akhirnya ikut turun. Mas Alyas dan Mas Heri udah pada njebur aja ke gusung. Komeng dan Adi pun ikut turun ke air. Mungkin mereka memang orang yang terbiasa menggunakan kapal, jadi mereka yang paling sigap. Merasa masih belum berhasil akhirnya para pria yang lain ikut turun. Kak Agus, Kak Firman dan Kak Akbar ikut ngebantu. Saya sempet ngerekam perjuangan mereka, dan selalu ngakak berkali-kali kalau liat. Tapi, salut lah buat mereka, rela basah kuyup demi kapal *dan terutama barang* yang harus diselamatkan. Sementara para wanita hanya cengar-cengir aja ngeliatin mereka.
Setelah kapal berhasil berlayar kembali dan berlabuh di Teluk Sumbang, kami pun berlega hati. Namun, baru saja menginjak daratan, hujan mulai mengguyur dengan tanpa ampun. Kamipun hanya bisa pasrah di sebuah pos dekat dermaga. Sembari menunggu hujan reda, kami istirahat sejenak, dan mengatur ulang rencana kami, sebab ternyata
Guest Host yang akan kami datangi sedang bertandang ke Berau. Sehingga kami stak tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah Dzuhuran, kami bertemu dengan Kepala Desa teluk sumbang dan Guide dari suku dayak Basab Selatan, yang mengarahkan jalan mpo Noru dan Kak Firman September 2012 lalu ke Air Terjun So'om. Kami menyerahkan kardus berisi bantuan peralatan belajar, dan mengatakan maksud tujuan kami.
Setelah perundingan kecil dilakukan, sang
Guide setuju untuk membawa kami ke rumah Kepala Adat untuk minta ijin mendaki. Beliau tidak berani memutuskan apakah kami akan diperbolehkan atau tidak, sebab mengingat hujan yang turun, dan waktu yang sempit, kami bisa saja malem baru kembali dari sana. Tapi, namanya anak-anak udah niat, ya mereka semua berkata sanggup. Masalah gak kuat itu belakangan, kan cuma tiga orang wanitanya. Bisa lah minta gendong dikit ntar kalau nda kuat. Ahaha..
Akhirnya sembari menunggu hujan reda, kami makan siang dulu di pos. Jadi setelah hujan reda, kami langsung chao ke gunung dan menuju Air Terjun Bidadari, yang katanya tingginya mencapai 30 Meter. Eh, ada rasa haru tersendiri loh, saat ngeliat masakan yang kita masak dimakan dengan lahap oleh orang lain. Apalagi pas orang lainnya itu nda protes dengan rasa masakannya yang ala kadarnya. Hehe. Nice job, Po Noru... Nice Job, Po Athie...
|
Makan siang di dalam Pos Penjaga Dekat Dermaga |
Kemudian, selepas makan siang demi mengisi energi untuk trekking panjang, kami mulai mengikuti sang
Guide, bpk Syarikat menuju ke Desa Suku Dayak Basab Selatan, untuk meminta ijin mendaki dan mengunjungi Air Terjun Bidadari. Perjalanan menuju Desa tersebut lumayan bikin jantung berdetak lebih cepat. Bayangkan saja, belum apa-apa udah disuguhi tanjakan tinggi dan panjang dengan kemiringan 50-60 derajat. Kalau kata Mpo Noru, itu adalah tanjakan Asoy. Kami yang ngebawa barang lengkap otomatis kepayahan. Kecepatan berjalan pun melambat, dan rasanya pengen ketawain diri sendiri, belum apa-apa udah payah. Tapi, tetep pasang tampang sok
cool. Haha..
|
Inilah tanjakan Asoy tersebut, dilihat dari atas. |
Sesampainya di atas, dengan nafas tersengal-sengal, namun terlampiaskan dengan dramatis saat melihat keasrian lingkungan desanya. Belum masuk batas desa suku dayak sih, namun ternyata rumah kepala desa teluk sumbang ada disana. Desa ini kurang lebih sama seperti Desa Biduk-Biduk. Pohon kelapa yang tinggi mencuat-cuat dari mana pun saya melihat. Jalan setapak yang berupa semen cor terbentang luas kedepan. Jalan ini memungkinkan sepeda motor untuk berjalan diatasnya. Tapi, mayoritas masyarakat di sana berjalan kaki, yah, wajar lah karena memang hanya desa kecil.
|
Jalan Setapak Menuju Desa Suku Dayak Basab Selatan |
Kami terus berjalan sampai melewati palang rintangan yang merupakan batas wilayah desa suku Dayak Basab Selatan. Ya, palang ini yang menandakan batas wilayah Desa Teluk Sumbang dan Desa Dayak Basab. Hampir saja saya memanjat palang rintangan itu, kalau pak Syarikat tidak membukanya. Haha.. kirain gak bisa dibuka. Kemudian sampailah kami di Desa Suku Dayak Basab. Wah.. lumayan takjub melihat desa ini. Begitu kontras dengan keadaan kami yang berpenampilan serba kota. Belum lagi
carrier yang kami tenteng, sendal gunung dan warna warni baju yang kami gunakan, sangat kontras dengan perpaduan hijau dan abu-abu dari rumah warga dan halaman sekitarnya. Kami disambut dengan tatapan ingin tahu dari balik jendela rumah warga, dan banyak anak-anak berkeliaran dengan menggunakan enggrang. Tahu Enggrang kan? Itu loh, mainan tradisional dari kayu, yang bikin kita lebih tinggi kalau naik diatasnya. Kebayang kan kontrasnya?
|
Inih.. kontras banget kan? |
Ketua Adat menyambut kami dengan baik sekali. Kalau tidak salah nama beliau adalah Joni. Istrinya bahkan ikut menyalami kami. Tau apa yang ada dipikiran saya? Iya, rombongan kami jadi semacam artis dadakan, dikerumuni oleh warga yang ingin tau tujuan kami kesana. Pun sebenarnya kami yang terkagum-kagum melihat mereka. Yah, biasa lah, orang kota pun kalau masuk desa musti excited gitu. Kami disambut baik, dan setelah percakapan singkat mengenai tujuan kami, kami bahkan ditawari untuk menginap di pondok mantan Ketua Adat yang ada di dekat hutan. Wah, kami sungguh sangat senang, mereka sungguh ramah dan bahkan menawarkan tempat untuk tidur. Pertanyaan kami terjawab sudah, yang jelas malam ini kami belum perlu pasang tenda. Haha.
|
Rumah Mantan Ketua Adat Suku Dayak Basab Selatan |
Kami akhirnya dibawa lagi ke sebuah rumah di ujung desa. Rupanya, itu adalah rumah dari mantan kepala adat yang punya Pondok tempat kami menginap nanti malam. Karena kami rombongan, maka yang masuk ke dalam rumah dan berunding hanya Firman dan Mpo Norma. Saya malah asik melihat-lihat
landscape yang luas. Lapangan besar dilatari oleh rumah penduduk dan Gunung tinggi. Benar-benar, saya baru sadar kalau saya lagi
Get Lost di sebuah tempat yang jauh dari Samarinda. Menyenangkan, sekaligus menenangkan.
|
View dari Rumah Bapak Kepala Adat |
Kemudian, saat perundingan selesai, kami mulai berangkat menuju pondok ketua untuk menaruh barang-barang kami. Dari desanya sendiri jarak yang akan kami tempuh sekitar 1-1,5 Km. Kami melewati perkebunan yang hijau, jagung dan singkong menjadi objek utamanya. Dan jujur, lumayan cape juga, karena bawaan di pundak mulai menggigit rasanya. Sehingga betapa senangnya saya saat melihat pondok yang kami tuju. Sebuah pondok sederhana yang listriknya menggunakan tenaga surya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, saya hanya bisa berharap semoga sebelum gelap sudah nyampe di air terjunnya.
|
Perjalanan Menuju Pondok, Asik banget viewnya. |
Di pondok, sembari bersiap-siap memilih barang bawaan yang kira-kira akan digunakan disana. Saya nekat membawa kamera di tas kecil karena pengen banget mengabadikan momen.
Gadget andalan sudah masuk dalam
waterproof case, jadi aman. Sembari berdoa semoga tidak hujan, sehingga barang bawaan tidak basah. Saya bertekad nggak pake nyebur, mungkin kalau main-main air dikit ya boleh lah.. Tapi gak bakal berenang. Oia, saat kami siap-siap. Pak Syarikat dan Pak Joni sempat mebahas bahwa mereka ingin menjadikan Air Terjun Bidadari menjadi tempat wisata yang dikelola oleh desanya. Kami pun mengemukakan maksud kami, terutama saya dan Mpo Norma, karena kami memang sedang mencari bahan untuk tulisan di blog kami. Kami menjanjikan akan mempromosikannya. Itupun, kalau bisa dapet gambar yang bagus dan selamat sampai tujuan. Saya masih sedikit ragu akan dapet gambar bagusnya, soalnya kan takutnya nyampe sana udah malem aja. Dapat apa kalau malem-malem ngefoto
landscape?
Setelah siap sedia semuanya, kami memulai perjalanan ini. Saya cukup
excited menerka-nerka jalur trekkingnya seperti apa. Terakhir saya
trekking masuk hutan adalah saat kemping di KRS tahun lalu. Dan itu sangat menyenangkan. Membayangkan petualangan apa yang ada di depan sana, saya sudah tidak sabar. Pasti menyenangkan, melelahkan namun menyenangkan.
Dengan sigap saya mulai mengikuti Pak Syarikat. Beliau berjalan sambil menebas-nebas dahan dan ranting yang menghalangi jalan. Awalnya kami hanya melewati kebun. Dan itu mudah lah... untuk ukuran saya yang dari kecil memang suka blusukan ke hutan, ini mudah. Walau jalan rata-rata sudah berubah menjadi lumpur, hal itu tidak menciutkan semangat kami. Hanya saja, sayangnya sebagian besar rombongan tidak menggunakan alas kaki yang memadai. Bahkan beberapa hanya menggunakan sendal jepit. Rasanya sedikit khawatir, namun karena saya yakin mereka orang yang sering keluar masuk hutan, jadi kekhawatiran saya sedikit berkurang.
Selang 10 menit dari awal perjalanan, rute mulai memasuki tahap medium. Kaki saya mulai kesulitan mendapatkan pijakan. Tanah yang lunak dan bercampur air mulai membuat pijakan saya goyah. Untungnya Mas Alyas dengan cekatan membagikan tongkat untuk pegangan. Itu membantu sekali untuk menstabilkan pijakan. Kecepatan perjalanan kami melambat. Beberapa malah menyerah dengan sendal jepitnya dan memilih tanpa alas kaki. Kami masih saja bisa bercanda mengatakan bahwa Mas Alyas yang tidak menggunakan alas kaki tersebut, karena kakinya sudah berstandar nasional. Haha..
|
Terobos hutan, menyusuri tebing. |
Rupanya, hujan deras siang tadi, menjadikan medan ini semakin lama semakin berat. Belum lagi rute yang dipilihkan oleh Pak Syarikat, yaitu lereng dengan kemiringan hampir 60 derajat, membuat kami semua kepayahan. Beberapa sempat terpleset dan pekikan mengaduh menggaung dimana-mana, baik yang kesandung kayu yang memalang, atau yang tidak sengaja terjerat duri rotan. Benar-benar membutuhkan konsentrasi dan ekstra hati-hati dalam melangkah dan berpegangan. Iyap, lereng itu, lereng yang tanahnya basah karena hujan itu, dan belum ada jalur sama sekali ituuuu.. kami susuri dengan susah payah. Saya sudah tidak sempat mencemaskan waktu lagi, saya lebih mencemaskan keselamatan rombongan, dan keselamatan saya tentunya.
|
Lereng yang curam banget |
Kemudian, karena pijakannya semakin lama semakin susah. Sendal saya mulai bandel dan sering selip, yang pada akhirnya saya kencangkan ukurannya. Dalam hati udah ngebatin, sepertinya sendalnya bakalan nggak kuat. Lah, justru gak lama setelah dikencangin, sendalnya beneran putus yang sebelah kanan. Mana waktu itu posisinya lagi susah. Pas lagi di tengah lereng tanpa pijakan apapun, tanpa pegangan apapun. Gerak dikit, pasti jatoh deh itu, apalagi saya sedang merasa tidak seimbang karena sendalnya putus. Untungnya temen-temen semua bener-bener ngejaga kami yang wanita-wanita lemah ini. Kak Agus yang membantu saya berhasil mencari pijakan yang kokoh. Dan, akhirnya saya harus rela mengikhlaskan kaki saya untuk menjelajah tanpa alas kaki. Mas Alyas, maaf ya tadi sempet ngeledek.. huhu...
Setelah sendal saya dikebumikan dengan tenang di salah satu dahan, saya benar-benar nyeker, di jalur trekking yang jauh lebih sadis daripada jalur trekking di KRS dulu. Tapi, dengan begitu temen-temen malah jadi lebih perhatian. Saya dijagain bener-bener. Senangnya... Sama seperti Mpo Noru dan Mpo Athie yang berada di depan. Karena insiden sendal itu membuat saya tertinggal dibelakang. Mereka juga sepertinya dibantu banyak orang. Wuah, disinilah sebenarnya keharmonisan sebuah rombongan itu terbangun. Justru momen-momen kesusahan seperti inilah yang mematrikan kenangan paling dalam. Gak heran sampai sekarang, walaupun udah 3 minggu berlalu, kami masih sering bilang "Kangen kaliaaaannn!!":p
|
Itu senyum kepaksa loh.. -.- kepaksa banget ngedaki gak pake sendal |
Kemudian, tidak lama setelah itu. "Krakk....!!!" dan diikuti suara bedebum terdengar dari belakang saya. Kak Agus jatuh dari tebing ke bebatuan di bawahnya. Saya hanya bisa terkesiap melihat Kak Agus jatuh dengan punggung duluan dan menghantam batu di bawahnya. Dia meluncur bebas dari ketinggian 2-2,5 meter, dan mendarat dengan kaki kiri terjepit antara kayu biasa dan kayu berduri. Sangking paniknya, saya hanya bisa terdiam ditempat. Dan meminta tolong kepada teman yang sudah berada di bawah untuk menolongnya. Kak Akbar dan Po Athie dengan sigap dan tenang mencoba memindahkan kayu yang menghimpit kakinya. Rupanya kayu yang dia gunakan untuk membantunya menyangga beban tubuhnya itu patah, dan dia kehilangan keseimbangan. Saat saya sudah bisa turun ke bawah, saya mencoba menyelamatkan carrier yang dia bawa. Yah, jelas aja dia jatoh punggung duluan, ini carrier asli berat banget. Pake bawa tripod segala sih. Tapi, entah kenapa kami sedikit bersyukur dengan adanya carrier tersebut. Seandainya Kak Agus tidak menggendong carrier-nya, bisa saja punggungnya lah yang menghantam batu, atau lebih buruk, malah kepalanya yang menghantam bebatuan. MasyaAllah... gak berani bayanginnya.
|
Tebing tempat Kak Agus Jatuh... >.< |
Setelah kak Agus dievakuasi, dan bisa berdiri dengan stabil, tau apa yang pertama kali dia ucapkan? "Tas ku mana? Tas ku? Kameraku gimana?" Ya Allah, pengen saya jitak rasanya orang ini. Tapi, iya sih.. kalau boleh jujur, yang pertama terlintas dalam kepala, "itu kamera kan yang di dalam carrier, rusak gak ya...?" Ahahaha.. ternyata memang kamera lebih penting dari badan sendiri, saya juga mungkin akan mengkhawatirkan kamera dulu baru luka-luka dibadan. Kemudian setelah dia memastikan kameranya baik-baik saja, dia baru memastikan dia bisa berjalan lagi. Lecet-lecetnya baru kerasa, tapi beliau keukeuh melanjutkan perjalanan. Sebenarnya saya cukup merasa geli juga dengan kejadian ini. Iya lah, gimana gak jadi ironi? Soalnya kak Agus jatuh itu tepat setelah ngasih tau saya untuk hati-hati, cari pijakan yang mantap, pegangan yang kuat. Saya disuruh check bener-bener dulu baru boleh pegangan ke kayu atau melangkah di batu. Eh, malah dia yang jatuh. Hehe.. Peace kak Agus... tapi, Frisca khawatir loh, beneran.. Soalnya gimana kalau kak Agus sampai cedera? Bisa-bisa gak balik ke Samarinda nih semuanya. :D
|
Sungainya Deres, tapi seger. |
Setelah kejadian yang bikin panik itu, kami jauh lebih berhati-hati lagi. Dan kali ini karena kami sudah turun dari tebing, kami menyusuri bebatuan di sisi sungai. Yap, rencananya beneran gak mau basah-basahan loh. Tapi, ujung-ujungnya musti basah juga.
Mood saya masih enak waktu itu, apalagi Kak Agus tidak memperlihatkan tanda-tanda mau pingsan, berarti masih aman. Sampai akhirnya Komeng celingak-celinguk ngeliatin kakinya. Dan ternyata kakinya dihinggapi dengan cantik oleh seekor lintah. Yak, perasaan saya mulai gak enak sodara-sodara. Kemudian benar saja, saat saya menoleh kebelakang, Mpo Noru rupanya juga mendengar saat Komeng bercerita darah dikakinya sedang dihisap oleh Mr. lintah.
Uh-Oh.. it's not going to be just okay...
Saya tau banget, betapa phobianya Mpo Noru yang tukang nongkrongin
Animal Planet,
National Geographic dan
Discovery Channel itu kepada makhluk kecil bernama Lintah. Sebut saja insiden di Bengkirai 2 tahun lalu. Betapa dia sampai tidak sanggup mengendarai motornya lagi, hanya karena mendengar dia menginjak lintah. Yang saya takutkan adalah, Mpo Noru kehilangan semangatnya, dan memilih mundur dari pertarungan di Teluk Sumbang ini disaat kami semua sudah menyelesaikan setengah perjalanan lebih. Serba salah dong saya, gak mungkin kan ninggalin mpo untuk pulang sendirian?
Saat saya pastikan lagi, Mpo Noru sudah berdiri dengan pucat disana. Tangannya bergetar dan dia memandang saya dengan penuh nestapa. Ah... apa yang harus saya lakukan Tuhan?? *oke, ini lebay*. Saya sih udah yakin dia pasti gak bisa jalan lebih jauh. Yang lain udah mulai mau jalan akhirnya bertanya-tanya kenapa Mpo Noru begitu pucat. Ah elah... akhirnya spontan saja saya meminta dua batang rokok dari Mas Heri. Dan memintanya untuk membasahi dengan air. Seingat saya tembakau adalah penolak lintah paling manjur. Ini udah kepepet banget, saya ambil satu ikat rambut yang saya gunakan, dan minta satu lagi dari punyanya mpo Athie. Tembakau tersebut lalu saya hancurkan dan sebar di dalam kaos kaki Mpo Noru dan saya ikat dengan karet rambut supaya nggak ada celah lintah bisa masuk. Sebenarnya, saya hanya mencoba mensugesti sang empunya Phobia, agar dia bisa merasa lebih tenang. Tapi, kalau ternyata dia masih gak bisa melanjutkan perjalanan, it's okay lah kalau saya harus tinggal. Ini bener bukan sok pahlawan, tapi mencoba memikirkan yang terbaik untuk semuanya, dan kebetulan aja lagi berada disana. Dan satu-satunya yang tau soal Phobianya Mpo Noru.
Lega hati saya melihat mpo Noru mulai mengangguk saat saya tanya "Masih bisa lanjut? Lanjut ya po, dikit lagi nih.. Lagian insyaAllah udah aman". Sembari terus menguatkan hati semuanya. Perjalanan ini harus tetap berlanjut. Harus. Udah jauh-jauh datang kesini, dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Belum tentu lagi dikasih kesempatan lain, masa iya disia-siain. Misi yang kami emban, harus completed, bagaimanapun juga caranya.
|
Istirahat Sementara menunggu keadaan Mpo Noru Stabil |
Kemudian, tidak lama setelah itu saya melihat dikejauhan pak Syarikat berada di tengah sungai sambil bahu membahu dengan yang lainnya untuk menyebrangkan kami. Ya, ternyata kami harus menyebrang sungai yang arusnya deras ini. Gak yakin kalau kamera di dalam Tas bakal Aman, maka saya titipkan kamera tersebut kepada Mas Adi. Setelah sekali lagi mengecek keberadaan barang-barang penting lain di dalam tas, dan merasa sudah aman dan mengikhlaskan tas bakalan basah, saya menuju ke penyebrangan. Oke, boleh jadi kaki saya kuat menghadapi jalanan tanpa menggunakan alas kaki. Atau tangan saya yang mantap mencari penyangga tubuh saat di tebing tadi. Namun, terus terang saya merasa tidak percaya diri menghadapi arus sungai yang begitu kencangnya. Mungkin, kalau tidak dipegangi oleh banyak orang, sudah pasti saya larut entah kemana.
|
Masih sempet pose padahal dalam hati deg"an itu |
Sesampainya di seberang sungai dengan badan basah. Saat saya sedang konsen-konsennya mencari pijakan yang tidak terlindungi oleh lumut. Didepan sana Mpo Noru berteriak "Mpo Athie !!!!". Ya Tuhan, apa lagi kali ini? Karena pandangan saya masih terhalang batu besar, sedangkan Mpo Norma sudah berada di atas, saat mendengar Mpo teriak "Nah kan, berdarah. Heh.. cepat itu ditolongin cepet. Mana kotak P3K ku, keluarin! Disana ada perbannya.." seketika itu saya panik dan langsung mencari jalan supaya bisa melihat keadaan po athie. Rupanya Mpo Athie yang mencoba naik ke salah satu batang kayu yang besar, jatuh terpleset dengan kepala menghantam bebatuan sungai. Benar saja, bajunya sudah merah oleh lumuran darah. Sepertinya kepalanya bocor dan mengeluarkan darah yang banyak. Astagfirullah... ini bener-bener perkara serius.
Mpo Noru yang shock karena ngeliat darah yang banyak, jadi ga bisa bergerak. Akhirnya hanya menginstruksikan pertolongan pertama yang bisa dilakukan. Mas Alyas yang sepertinya saat itu berada di samping Mpo Athie merasa sungkan dan menyuruh wanita yang mengurusi. Oke, panggilan buat saya. Segera, secepat mungkin saya meloncati batu-batu sungai yang besar itu, dan langsung mendapati luka di kepala Mpo Athie yang terbuka vertikal dengan panjang kurang lebih 3 cm. Sambil mengikuti instruksi dari mpo Noru, *sangking paniknya, saya gak mampu berfikir* saya mulai membersihkan darah yang berada di sekitar area luka. Untungnya saja, kami membawa peralatan P3K, jika tidak, akan sulit sekali menghentikan darah di kepala Mpo Athie.
Kemudian, setelah diperban dengan erat, sembari menjejalkan perban di luka yang menganga tersebut agar darah bisa menggumpal dan tidak keluar lagi, saya mencoba bertanya kepada Mpo Athie, apa dia sanggup berjalan. Namun, Kak Agus menggeleng. Dia bilang, kita harus stop dan menghentikan perjalanan, untuk kembali ke desa mengobati Mpo Athie yang terluka. Seketika itu pula, saya lemas. Yap, ternyata perjalanan ini harus berhenti sampai disini. Saya merasa kecewa, karena tujuan utama kami gagal. Kami gagal melihat Air Terjun Bidadari. Dan banyak orang yang cedera karena perjalanan ini. Tapi dia benar, kami harus kembali. Keselamatan Mpo Athie jauh lebih penting dari Air Terjun itu.
|
Sesi pengobatan Alakadarnya oleh suster Frisca.. :p |
Kak Agus kemudian berkomunikasi dengan Pak Syarikat dan mengungkapkan maksud kembali melalui jalur yang berbeda. Namun, Pak Syarikat berkata, tidak ada jalur yang lain. Kami harus menempuh jalur sebelumnya untuk kembali ke desa. Okay, saya mulai kehilangan alasan untuk ber-
positive thinking. Kecemasan dan ketakutan mulai menjalar di kepala saya. Namun, bersikap takut dan mengeluh bukan pilihan. Hanya dengan menjalaninya maka kita akan bisa keluar dari masalah. Saya lihat mood-mood rombongan yang lain mulai buruk. Kak Firman yang terlihat lelah, Kak Akbar yang sudah tidak tersenyum lagi. Mas dyan, Mas Eko dan yang lain sepertinya sudah kehilangan semangat. Tapi, mau gimana lagi? Kita semua harus pulang, balik ke desa bagaimanapun caranya.
Setelah yakin mpo Athie bisa berjalan, namun dia minta harus dijagain. Kami mulai berangkat dari tempat Mpo Athie jatuh tadi. Sejenak kecemasan bertambah karena sepertinya debit air sungai yang mengalir semakin banyak. Mungkin saat itu sudah pukul 17.00, saya sudah lupa untuk melihat jam lagi karena dikepala saya hanyalah, cepat pulang cepat kembali ke desa, cepat mengobati Mpo Athie. Dan benar saja, Pak Syarikat akhirnya memastikan kami tidak bisa kembali melalui jalur tadi, karena air bah yang datang dari atas gunung sehabis hujan tadi menutupi jalurnya. Yap, kami benar-benar berada dalam masalah besar.
|
Mulai beranjak karena menyadari debit air sungai mulai tinggi. |
Akhirnya, setelah pak Syarikat berkomunikasi dengan kepala adat yang ternyata masih berada di seberang sungai sana, mereka memutuskan bahwa kami harus di evakuasi. Kepala adat akan kembali ke desa dan meminjam chainsaw untuk memotong pohon sebagai jembatan. Sementara kami, harus kembali trekking ke jalur lainnya untuk menunggu bantuan. Wuah, gak nyangka banget kalau rombongan kami menyandang status
"Harus dievakuasi". Perjalanan dengan rencana sederhana ini akhirnya menjadi sebegini menghebohkannya. Saya coba berfikir dalam diam, rupanya kuasa Tuhan memang tiada duanya ya? Satu hikmah lagi yang bisa saya petik untuk jadi pengalaman berharga dalam hidup. Ya, Allah yang menentukan semuanya. Bahkan, kali ini melalui alam Beliau menunjukkan secara langsung bahwa kami, manusia-manusia ini kerdil dihadapanNya.
Kami pun kembali menyusuri lereng gunung yang terjal dengan kemiringan 60-75 derajat. Menyusuri lereng yang basah, lembab dan membuka jalur baru kembali. Belum lagi akar rotan yang bergantungan dimana-mana. Harus ekstra hati-hati melaluinya. Semangat dan perasaan senang menguap entah kemana. Tidak ada lagi sesi foto-foto narsis. Saya pun hanya bisa diam sendiri sambil beraduh-aduh ria. Intensitas duri yang berada di lereng ini jauh lebih banyak daripada lereng sebelumnya. Saya sudah nggak bisa bayangin gimana cacatnya telapak kaki saya nanti. Tapi, saya yakin aja, kaki ciptaan Tuhan ini jauh lebih kuat dan aman daripada sandal atau sepatu apapun di dunia ini. Yah, walaupun saat menginjak duri, harus meringis menahan sakitnya dulu. Hehe.
Sepanjang perjalanan menuju tempat jembatan buatan itu, Saya lagi-lagi berada di belakang. Mpo Athie dijaga dan dikawal dengan ketat oleh Mas Heri dan Pak Syarikat di bagian depan. Mpo noru dibantu oleh Mas Alyas dan Kak Firman dalam menyusuri lereng. Sementara saya, Kak Akbar, Mas Adi dan Kak Agus berada di belakang sebagai penutup rombongan. Mas Alyas dan Kak Agus sempat beberapa kali berunding, tentang jalur yang aneh dan sebagainya. Namun, kami tetap memantapkan hati untuk mengikuti arahan jalan dari Pak Syarikat. Sudahlah, nasi sudah mateng, dan jadi bubur. Kalau memang mau protes, bukannya dari awal pas Kak Agus jatuh tadi? Sekarang sih harus ikut
plan terbaru, tiba di tempat evakuasi pembuatan jembatan darurat.
Setelah beberapa lama berjalan,
mood saya mulai membaik. Dan akhirnya tertawa-tawa bercanda di belakang dengan yang lain. Mungkin tepatnya diketawain sama yang lain karena beberapa kali mengaduh saat menginjak duri. Belum lagi keusilan kak Agus yang bikin tangan ini terluka. Masih inget banget waktu dia ngelempar keong ke arah saya, saya kaget dan kehilangan keseimbangan, kemudian mendadak pegangan di batang terdekat dan ternyata batang tersebut adalah akar rotan yang berduri. Bagusnya kelakuanmu Kak.. -.- Tapi, berkat itu suasana mencair. Semangat dan keceriaan saya kembali. Memang benar, harus ada yang tetap bisa tertawa ditengah kecemasan seperti itu. Itu namanya menyeimbangkan, supaya nggak malah terpuruk dalam suasana yang mencekam.
Kemudian, kembali membantu Mas Adi yang sepertinya kehabisan stamina menjalani
trekking ini. Bersabar. Tetap tenang, dan konsentrasi sambil sedikit bercanda. Sampai akhirnya kami keluar dari hutan dan berada di semak-semak. Jalan semakin menurun, beberapa kali saya terpeleset dan jatuh begitu saja di turunan itu. Rasanya ingin meluncur saja dari atas, tapi gak mungkin ah, kasian yang dibawah nanti kejatuhan, kemudian menimbulkan efek domino sampai di bawah sana, gak mungkin kan? Dan suasana sore itu sudah lumayan gelap, mungkin sekitar jam 18.00 wita. Sialnya lagi, sudah capek-capek nyampe di bawah, masih harus disuruh naik ke atas lagi, karena pohon akan dipotong, takutnya lokasi kita menjadi lokasi jatuhnya pohon tersebut. Bagusss... -.-
|
Menunggu Koordinasi penebangan pohon untuk jembatan darurat. |
Jadi, begini ceritanya. pohon bengkirai setinggi hampir 30 meter itu ditebang begitu saja demi menyelamatkan kami. Sebagai anggota komunitas
Earth Hour dan
Borneo Green sepertinya ini adalah penghianatan tersendiri. Sebuah pohon yang gak salah apa-apa, akhirnya dikorbankan demi menyelamatkan nyawa 13 orang pemuda yang terjebak air luapan sungai. Ah... pohon, sungguh, maafkan kami. Semoga kamu masih bisa tumbuh dan berguna untuk yang lain ya?
|
Detik-detik tumbangnya sang pohon. |
Setelah pohon tumbang dengan arah menyerong kekanan, sama sekali tidak bersentuhan dengan posisi kami sebelumnya, *sia-sia lagi perjuangan menaiki tanjakan tersebut, huft* kami sedikit berjalan memutar lagi. Dan mulai menyebrang melewati batang pohon tersebut. Fyuh.. petualangan ini benar-benar sesuatu yang pantas kami ceritakan untuk anak-anak kami kelak. Bagaimana kami membuat repot orang satu desa hanya karena keinginan ngeyel masuk hutan menyusuri sungai disaat habis hujan. :D Tapi, dengan begitu kami banyak mengambil pelajaran dari sini. Banyak belajar hal baru dan tahu bahwa saya cukup tangguh melewatinya. :3
Penyebrangan dilakukan oleh wanita duluan. Sehingga Mpo Athie, Saya dan Mpo Norma berada di rombongan paling depan. Jalanan mulai tidak terlihat sebab kegelapan pekat menyelimutinya. Ya, hari sudah malam sodara-sodara. Dan berada di hutan pada malam hari tanpa penerangan apapun benar-benar tidak saya sarankan. Ada perasaan takut mendengar suara-suara yang tidak kita ketahui berasal dari mana, atau hewan apa yang mengeluarkannya. Perasaan was-was karena diikuti menjadi pemacu semangat untuk berjalan lebih cepat. Padahal kami tau, kami semua sama-sama lelah karena perjalanan itu. Bergandengan tangan menjadi pilihan bagi saya. Dengan menggandeng tangan Mpo Athie, saya alihkan pandangan ke langit, karena melihat kebawah pun, gak bakal keliatan itu jalan. Menenangkan diri sambil melihat langit teluk sumbang malam itu merupakan pilihan yang tepat. Subhanallah... langit yang cerah dengan gugusan bintang yang banyak bertaburan tidak terhingga menjadi penenang sendiri untuk saya. Perasaan was-was memudar. Berganti dengan perasaan menikmati. Sungguh, saya suka sekali dengan bintang. :)
Tidak berapa lama, kami tiba di pondok tempat kami meninggalkan barang kami sebelumnya. Sesampainya disana, saya hanya bisa tergeletak lemas. Dan pelan-pelan mulai terasa perih di kaki dan tangan. Ternyata benar, saya memaksakan diri. Hanya saja, batas ini saya masih sanggup tolerir. Kelelahan dan keletihan luar biasa mulai menggerayangi badan. Pun dengan keadaan seperti itu masih sanggup menyiapkan peralatan untuk membuatkan kopi teman-teman semua. Saya baru tau kalau saya sebaik ini. #eh *padahal sebenernya yang paling sibuk adalah mpo norma. saya udah ngeringkuk di pojokan dekat po athie, membaringkan badan untuk mengembalikan stamina*
Bagi saya, perjalanan hari itu benar-benar sesuatu yang tidak akan bisa saya lupakan seumur hidup. Adrenalinnya, perasaan senangnya, kebersamaannya, kecemasannya, kekhawatirannya, dan hal-hal lain yang tidak bisa diungkapkan. Ada kehangatan disana dan rasa saling memiliki. Tanggung jawab dan keangkuhan benar-benar diuji. Entah bagaimana lagi saya mengungkapkannya. Intinya satu, hari itu berjalan dengan sangat Epic! Spektakuler...
Unbelievable... dan ungkapan-ungkapan berlebihan lainnya. Yang jelas saya sangat bersyukur sudah diperbolehkan mencicipi petualangan yang seperti ini bersama team 13 kami, di sini, di tempat ini. Ah, Allah memang sudah begitu baik pada saya. ;)
***
*To Be Continued To Part II*
NB : Terimakasih banyak sekali kepada mas Eko. Rata-rata gambar yang ada disini berasal dari kamera beliau. Hehe.. Maaf dengan watermarknya.. Tapi, kita teman kan? Jadi ga papa ya?? ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar